Masyarakat Adat Kampung Kuta Ciamis Jawa Barat memiliki sebuah aturan terkait penguburan/pemakaman warga yang meninggal, yaitu “kolot nu maot teu kenging dipendem di Kuta” yang artinya “orang dewasa yang meninggal tidak boleh dimakamkan di Kampung Kuta”. Hal ini karena adanya anggapan bahwa tanah di Kuta bersifat suci sehingga mayat manusia dewasa yang kemungkinan telah banyak berbuat dosa tidak boleh dimakamkan di sana. Hanya janin keguguran atau bayi meninggal saat lahir yang boleh dikubur di Kampung Kuta, itupun di tanah milik pribadi. Sementara secara ilmiah, sebenarnya tanah di Kampung Kuta bersifat labil karena merupakan tanah endapan rawa sehingga jika digali dapat menyebabkan tanah tersebut longsor. Dikarenakan kondisi tanah yang seperti itu, tidak ada gali sumur juga di Kampung Kuta Ciamis.
Untuk penguburan mayat masyarakat Kampung Kuta dilakukan di dusun sebelah, yakni Cibodas yang jaraknya kurang lebih 2 kilometer dari Kampung Kuta. Proses ritual dan tata cara pemakaman sama seperti pemakaman islam pada umumnya, mulai dari dimandikan hingga disholatkan. Hanya saja kerangka untuk membawa jenazah di Kampung Kuta wajib menggunakan gotongan yang terbuat dari bambu dan langsung dibuang setelah pemakaman selesai. Biasanya gotongan bambu tersebut akan dibuat mendadak ketika ada yang meninggal. Untuk membawa jenazah dari Kampung Kuta ke pemakaman di Cibodas dilarang menggunakan mobil tetapi harus digotong bersama-sama dengan gotongan bambu yang telah dibuat tersebut.
Setelah penguburan selesai, terdapat serangkaian upacara/ritual mulai dari hari pertama hingga hari ke-1000. Pada hari pertama hingga ke-7, akan diadakan tahlilan setiap malam di rumah orang yang meninggal. Jika meninggal di hari Jum’at Kliwon, maka makam orang tersebut akan ditunggui oleh warga dan dibacakan do’a setiap malam selama 7 hari. Hal ini dilakukan karena kain kafan orang yang meninggal di Jum’at Kliwon rawan dicuri untuk dijadikan jimat penglaris dan jimat lainnya. Selain itu, ada juga yang mengambil tanah kuburannya untuk membuat semacam santet. Oleh karena itulah, makam warga yang meninggal di hari Jum’at Kliwon ditunggui agar tidak ada yang melakukan perbuatan semacam itu. Kemudian, tahlilan akan dilakukan kembali di hari ke-40. Upacara hari ke-40 kematian biasa disebut upacara Matangpuluh. Sebelum upacara ini tiba, biasanya keluarga yang ditinggal meninggal akan berdoa setiap Jum’at malam. Pada upacara Matangpuluh, tahlilan dilakukan oleh 1 kampung di rumah warga yang meninggal dan biasanya akan ada tumpeng dan tutuwuhan/tumbuh-tumbuhan seperti tebu, kelapa muda, dan lainnya. Tahlilan kemudian dilakukan kembali di hari ke-100 (Natus), satu tahun kematian (Tepang taun/mendak) dan hari ke-1000 (Nyewu).