Leuweung Gede adalah hutan yang dilindungi dan dikeramatkan oleh Masyarakat Adat Kampung Kuta Ciamis, Jawa Barat. Leuweung ini berada di sebelah Selatan Kampung Kuta dengan luas kurang lebih 40 hektar. Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa leuweung tersebut merupakan tempat para leluhur mereka sehingga perlu dihormati dan terdapat berbagai adat istiadat untuk memasuki kawasan leuweung gede tersebut. Aturan-aturan atau pamali yang ditetapkan ketika memasuki leuweung keramat diantaranya adalah sebagai berikut:
- Hanya boleh memasuki di hari Jumat dan SeninTidak Boleh Memasuki Leuwueng Gede, kecuali hari Jumat dan Senin. Larangan ini berdasarkan sebuat mitos ketika Ki bumu mengikuti sayembara untuk menjadi Kuncen, beliau datang ke kampung Kuta pada hari Jumat danlangsung memasuki Leuweung Gede utnk menancapkan pohon jarak sebgai tanda ia telah datang. tiga hari kemudian, Ki Batasela tiba di Kuta dan masuk juga ke leuweung gede, untuk memberikan selamat kepada Ki bumi yang telah tiba dahulu. menurut mitos, kedua orang tersebut keluar bersama-sama pada hari Senin sore. Hari dimana Ki Gede dan Ki Batasela memasuki Leuweung Gede, ini dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk memasuki Leuweung Gede pada hari yang sama.
-
Tidak boleh memakai alas kakiTidah Boleh menggunakan alas kaki. larangan ini bermula saat Leuweung Gede dijadikan tempat persembunyian Dewi Naganingrum dari kejaran prajurit Kerajaan Bojing Galuh Kamulyan. Saat itu, yang menggunakan alas kaki hanya bisa digunakan oleh pegawai kerajaan, dan merupakan salah satu ciri yang membedakan mereka dari rakyat biasa. oleh karena itu, pengikut Dewi Naganingrum berusaha melarang orang yang menggunakan alas kaki untuk memasuki Leuweung Gede. Selain itu, juga merupakan salah satu kebiasaan Ki Bumi untuk tidak menggunakan alas kaki.
-
Tidak boleh berpakaian dinasTidak boleh menggunakan pakaian dinas. Hal ini masih berhubungan dengan kisah pelarian Dewi Naganingrum. Pakaian dinas kerajaan yang merupakan seragam prajurit, menjadi salah satu ciri-ciri yang membedakan dengan rakyat biasa, oleh pengikut Dewi Naganingrum, dilarang masuk ke Leuweung Gede/ di masa kini pakaian seragam kerajaan diperluas artinya ke penggunaan pakaian dinas pemerintah.
-
Tidak boleh berpakaian serba hitamTidak boleh menggunakan pakaian serba hitam, karena warna hitam dianggap perlambang kejahatan. Selain itu Ki Bumi yang dianggap sebagai peletak dasar kehidupan di Kuta juga selalu menanggalkan pakaian hitamnya sebelum memasuki Leuweung Gede.
-
Tidak boleh membawa tas dan perhiasan emasTidak boleh menggunakan perhiasan emas. Emas dianggap sebagai kemewahan duniawi. para leluhur Kampung Kuta yang pernah hidup, dan sekarang arwahnya diyakini hidup di Leuweung Gede adalah orang yang bersahaja, yang tidak mementingkan kemewahan duniawi. Hidup bersahaja dan menerima apa yang diberikan alam adalah pola hidup yang dianut oleh leluhur.
-
Tidak boleh meludah, buang air kecil/besarTidak boleh meludah, buang air kecil, dan buang air besar di Leuweung Gede. Karena selain mengotori kesucian ntempat, hal ini juga tanpa disadari, kotoran yang dikeluarkan dapat terkena makhluk gaib, penghuni hutan yang tidak kelihatan sehingga dapat menimbulkan amarah. Amarah mereka bisa berupa bencana alam
-
Tidak boleh buang sampah apiTidak boleh membuang sampah yang mengandung api. Larangan ini didasari oleh kebiasaan Ki Bumi yang saat beliau memasuki Leuweung Gede selalu memdamkan rokoknya.
-
Tidak sedang haid (untuk perempuan)
-
Tidak boleh berkata atau berperilaku sombongTidak boleh mengucapkan kata kata yang tidak pantas (sompral) karena ucapan kotor, apalagi kata-kata yang menantang (sompral) akan mengganggu kedamaian leluhur yang menghuni hutan. Terganggunya kedamaian mereka akan menimbulkan hal yang tidak baik bagi yang mengucapkannya.
-
Tidak boleh bernyanyi ataupun bersiul
-
Tidak boleh mengganggu hewanTidak boleh membunuh binatang yang ada di Leuweung Gede. Binatang yang ada di Leuwueng Gede diyakini merupakanmakhluk gaib/sakti yang bisa berubah wujud. Binatang yang ditangkap atau dibunuh bisa saja merupakan penjelmaan mereka, jika hal itu terjadi dapat dipastikan bencana yang dahsyat.
-
Tidak boleh membawa sesuatu dari dalam hutanTidak boleh mematahkan atau memotong pohon di Leuwueng Gede. larangan ini didasari bahwa kepercayaan bahwa pohon pohon yang ada dimiliki dan dipelihara leluhur yang menghuninya. Jika dirusak akam membuat leluhur marah, dan menyebabkan bencana
Sejumlah pamali tersebut ditetapkan untuk menghormati para leluhur yang dipercaya tinggal di Kawasan Leuweung Keramat, seperti aturan tidak memakai alas kaki, tidak menggunakan pakaian dinas dan tidak memakai pakaian serba hitam (agar tidak menyerupai leluhur yang pakaiannya juga serba hitam). Aturan untuk tidak membawa tas dan perhiasan adalah untuk menghindari kehilangan barang tersebut. Sementara aturan-aturan lainnya juga dapat berfungsi untuk menjaga kebersihan dan kelestarian leuweung keramat. Apabila sejumlah tabu tersebut dilanggar, dipercaya akan terjadi musibah (oleh alam ataupun makhluk halus, berupa penyakit dan lainnya) tak hanya bagi yang melanggarnya tetapi orang-orang didekatnya pun kemungkinan dapat terkena dampaknya. Tidak ada sanksi adat berupa hukuman bagi yang melanggar tabu, tetapi masyarakat akan menegur tegas bagi yang melanggar dan selalu saling mengingatkan untuk tidak melanggar tabu-tabu leuweung keramat.
Biasanya masyarakat mengunjungi leuweung keramat untuk ziarah leluhur ataupun meminta restu ibu-rama. Waktu kunjungan hanya dapat dilakukan di hari Senin pukul 08.00 – 14.00 WIB dan hari Jum’at pukul 08.00 – 11.00 WIB. Penentuan hari kunjungan ke hutan keramat ini didasarkan dari sejarah leluhur terkait sayembara kuncen pertama di Kampung Kuta, yakni sayembara mengenai siapa yang lebih dulu sampai di Kuta (Leuweung Gede) dengan menancapkan pohon jarak. Saat itu, Ki Bumi adalah pemenang sayembara yang tiba pada hari Jum’at dan menjadi Kuncen pertama di Kampung Kuta sementara Ki Batasela kalah karena tiba di hari Senin minggu berikutnya. Akhirnya, hari kunjungan ke Leuweung Gede atau Leuweung Keramat inipun ditetapkan pada hari Senin dan Jum’at sesuai cerita sejarah sayembara kuncen Kampung Kuta.
Untuk memasuki leuweung keramat, pengunjung harus mendapatkan izin dari Kuncen dan mengucapkan kalimat syahadat sebelum memasukinya. Kemudian proses ritual akan dilakukan di kawah yang berada di tengah hutan keramat dan Ciasihan (semacam sumur siuk yang berada di dekat pintu keluar masuk leuweung keramat). Syarat yang perlu dibawa untuk ritual ziarah ini adalah kemenyan untuk dibakar, minyak air mata duyung untuk dioleskan di dahi, uang logam, dan botol plastik kosong. Minyak air mata duyung adalah sejenis minyak wangi yang tidak menggunakan alkohol, penggunaan minyak ini sebagai syarat dapat digantikan dengan minyak wangi lain yang juga tidak menggunakan alkohol. Sementara botol plastik kosong akan digunakan untuk mengambil air kawah dan air Ciasihan.
Untuk melakukan ritual, pertama-tama kuncen akan menyalakan kemenyan dan mengucapkan rapalan untuk meminta izin kepada bapak-ibu rama. Pengunjung pun dapat ikut berdo’a mengucapkan harapan-harapannya lalu setelah itu pengunjung membuang uang logam ke kawah sebagai perantara do’a tersebut. Setelah itu pengunjung mengisi botol dari air kawah tersebut sampai terisi setengahnya dan membasuh muka atau berwudhu dengan menggunakan air kawah. Sementara untuk sisa setengahnya lagi akan diisi air dari Ciasihan (sumur siuk yang ada di dekat pintu keluar masuk leuweung gede). Proses ritual di Ciasihan juga sama, yakni melempar koin, mengambil air ke dalam botol, dan terakhir melakukan wudhu lagi di sana. Ritual ini dan aturan hari untuk mengunjungi Leuweung Keramat telah ada dan diturunkan secara turun temurun dari leluhur Masyarakat Kampung Kuta.