Adat Pernikahan Masyarakat Kampung Kuta Ciamis

Basisdata Adat Istiadat
DATA
Nama Adat Istiadat
Adat Pernikahan Masyarakat Kampung Kuta Ciamis
Deskripsi

Masyarakat adat kuta Ciamis memiliki adat istiadat tersendiri dalam melakukan perkawinan. Sebelum memasuki upacara pernikahan, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu oleh kedua calon mempelai. Tahap pertama adalah Nanyaan, yakni lamaran dimana keluarga laki-laki mengunjungi keluarga perempuan untuk melamar dan menanyakan kesiapan untuk menikah dengan membawa cincin dan berbagai macam hantaran. Tahap selanjutnya, yaitu Mulangkeun Sereuh Euleus atau silaturahmi keluarga calon mempelai perempuan ke rumah keluarga calon mempelai laki-laki. Jarak dari Nanyaan ke Mulangkeun Seureuh Euleus dapat berbeda-beda tergantung kesiapan kedua mempelai, namun biasanya dapat berjarak 2 hingga 3 bulan. Pada tahap kedua ini disebut Mulangkeun Sereuh Euleus karena keluarga perempuan mengembalikan hantaran-hantaran yang dulu diberikan oleh laki-laki saat lamaran dengan hantaran lain berupa makanan yang biasanya terdiri dari jebug, rengginang, seroja, dan makanan lainnya. Pada tahap ini biasanya keluarga laki-laki memberikan seureuh untuk nyepah yang bertujuan untuk mengikat rasa atau memberikan gambaran bahwa harus siap bersama walaupun menghadapi rasa pahit. 

Selanjutnya, pada malam sebelum pernikahan, biasanya penganten perempuan akan dimandikan dulu dengan berbagai bunga dan air dari berbagai sumber yang jumlahnya sesuai hari kelahiran. Misalnya calon mempelai tersebut lahir di hari Sabtu yang memiliki makna angka tujuh, maka saat malam pernikahannya harus dimandikan dengan bunga 7 rupa dan air dari 7 sumber. Kemudian pada hari H pernikahan, upacara dilakukan seperti pernikahan adat Sunda pada umumnya. Sebelum akad, akan dilakukan tradisi seserahan terlebih dahulu. Kemudian setelah akad, ada sungkeman, injak telur, injak bambu, injak cowet, dan memecah kendi.  Adapun pakaian yang digunakan adalah kebaya putih dan samping batik bagi pengantin perempuan, serta kemeja atau jas putih dan samping batik bagi pengantin laki-laki.

Pernikahan masyarakat adat Kuta juga memiliki aturan yakni selama 7 hari setelah pernikahan, pengantin laki-laki harus tinggal bersama di rumah keluarga perempuan dan pengantin perempuan belum boleh dibawa ke rumah pengantin laki-laki. Selain itu, selama 7 hari itu pula pengantin tidak boleh melewati sungai dan tidak boleh bepergian. Untuk penentuan hari pernikahan pun terdapat perhitungan hari baik dan hari buruk. Biasanya, penentuan hari baik ini akan meminta pendapat dari sesepuh Kampung Kuta. Untuk pelaksanaan upacara pernikahan ini pun tidak boleh dilakukan di bulan Safar dan Mulud karena dipercaya bulan tersebut bukan waktu yang baik dan jika dilaksanakan dapat terjadi hal-hal buruk. Adat pernikahan masyarakat Kampung Kuta tidak memiliki larangan pernikahan dengan yang berbeda kampung dan tidak membatasi pernikahan dengan siapapun, tetapi pernikahan tidak boleh dilakukan dengan adik ipar ataupun kakak ipar. Terdapat pamali yang berbunyi “teu meunang turun ka ranjang atawa naek ka ranjang”, artinya adalah tidak boleh turun ranjang (menikah dengan adik ipar) dan tidak boleh naik ranjang (menikah dengan kakak ipar). Aturan ini ditujukan kepada orang yang ditinggal meninggal oleh suami ataupun istrinya. Tujuan dari aturan ini adalah untuk memperluas persaudaraan karena jika menikah dengan antar saudara maka tidak akan memperluas persaudaraan dan juga terdapat kepercayaan bahwa anak yang lahir akan cacat bawaan jika hal tersebut dilakukan. 

 

Etnis yang melaksanakan
Sunda
Propinsi
Jawa Barat