Masyarakat Adat Kuta Ciamis Jawa Barat memiliki aturan adat di dalam mendirikan rumah, yakni tidak boleh menggunakan tembok, tidak boleh saling memunggungi, dan tidak boleh berbentuk letter L ataupun letter U. Aturan tidak boleh menggunakan tembok diterapkan sebagai bentuk pelestarian rumah adat sebagai warisan leluhur agar tetap ada dan didirikan. Selain itu, pembuatan rumah dari kayu dianggap dapat melestarikan alam karena tidak merusak atau menghabiskan gunung batu. Rumah dari kayu dan atap dari daun kiray juga dapat diuraikan dengan mudah oleh tanah sehingga tidak akan merusak lingkungan. Terdapat pula istilah di sana yang menyatakan “jangan membuat istana (rumah) menjadi astana (kuburan)”. Sementara mendirikan rumah dari tembok dan genting seolah-olah penghuni rumah sedang dikubur karena semuanya terbuat dari tanah. Masyarakat Kuta juga meyakini apabila mereka mendirikan rumah dari tembok maka dapat terjadi musibah tak hanya bagi orang tersebut tetapi bisa menimpa satu kampung. Rumah yang didirikan pun tidak boleh berbentuk letter L dan letter U tetapi harus berbentuk persegi panjang. Keseragaman bahan rumah dan bentuk rumah dilakukan agar tidak menimbulkan kesenjangan sosial di masyarakat. Kemudian, aturan mendirikan rumah yang tidak boleh saling memunggungi bertujuan untuk menciptakan kehidupan bersosial terjalin dengan baik antar satu sama lainnya. Dengan rumah yang saling berhadapan, diharapkan silaturahmi dan interaksi antar masyarakat Kampung Kuta akan tetap terjaga.
Untuk mendirikan rumah pun, masyarakat Kampung Kuta memiliki ritual-ritual yang harus dilakukan. Ritual tersebut dilakukan dengan harapan agar pembangunan rumah dapat berjalan dengan lancar. Sebelum memulai ritual, pemilik rumah meminta hari baik kepada sesepuh. Ritual dilakukan dalam beberapa proses, pertama dilakukan ritual dikuburan, yaitu melakukan uji coba tanah yang akan dibangun rumah untuk menentukan tanah tersebut baik atau buruk. Hal ini dibuktikan dengan meletakan padi dan air di dalam bambu (tamiyang) dan sesaji. kemudian dibuat sebuah lubang lalu perlengkapan tersebut dimasukan dan ditutup menggunakan haseupan kemudian diikat menggunakan kayu sulangkar. Perlengkapan tersebut didiamkan selama semalam. Pagi harinya akan dilihat jika semuanya utuh yaitu padi tidak rontok, air tidak surut, tidak ada semut merah berarti menandakan bahwa pembangunan rumah dapat dilanjutkan. Namun jika salah satunya ada yang gagal, berarti harus mencari lagi tempat yang bagus. Lahan yang digunakan biasanya milik pribadi, tetapi jika tidak ada maka masyarakat dapat menggunakan lahan milik saudaranya. Namun jika ingin membeli lahan pun tak apa asalkan sudah dipastikan bahwa lahan tersebut sudah diritualkan dan merupakan tempat yang baik untuk mendirikan rumah.
Prosesi selanjutnya adalah ngalelemah yaitu kegiatan untuk meratakan tanah sehingga kondisnya memungkinkan untuk didirikan. kegiatan ngalelemah ini biasanya dilakukan secara bergotong royong. Baru ketika tanh siap untuk dibangun, dilakukanlah prosesi nangtungan, yaitu peletakan rangkaian/tiang rumah. Jika bangunan dianggap bagus, tiang diletakan pada tanah kemudian ditarik diberdirikan oleh kain. Di tempat ini juga diletakan kelapa dan padi. Kayu yang digunakan dalam pembangunan rumah yaitu berasal dari lahan pribadi jika ada, tetapi jika tidak ada maka harus membeli dari tukang kayu. Ada hitungannya juga dalam menebang kayu sampai dijemur hingga kering. Jika kayunya beli yang sudah jadi, tetap saja harus menanyakan waktu yang cocok untuk membeli kayu kepada sesepuh.
Selanjutnya dilakukan pembangunan rumah. Pembangunan dapat diselesaikan dalam satu hari, rangkaiannya yaitu pasang usung, reng, dan atap. Pembangunan rumah dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat di Kampung Adat Kuta. Ada beberapa ritual yang dilakukan pada saat melakukan pembangunan rumah:
1. Memotong ayam, kemudian darahnya dipercikkan ke alat-alat untuk membangun rumah.
2. Ketika ngadeg (sudah dipasang pondasi), dilakukan lagi ritual dengan memotong ayam dan darahnya dicipratkan ke 4 penjuru.
3. Ketika bangunan sudah tegap, dilakukan pemotongan ayam lagi.
4. Kemudian ketika suhunan (atap) sudah jadi, dilakukan potong ayam dan dikubur ayamnya.
Setelah pembangunan rumah selesai, rumah diadzani di 4 pojoknya yaitu wetan (timur), kulon (barat), kidul (selatan), kaler (utara) dilakukan oleh ustadz. Dipasang juga sawen di empat pojok rumah dan satu di pintu depan. Sawen terdiri dari daun sulangkar, haur kuning, palias, handeleum, daun ganas. Nyawen dilakukan sesepuh. Sawen berfungsi sebagai penolak bala. Kemudian setelah itu diadakan syukuran ba’da magrib untuk berdoa dan makan bersama yang dihadiri oleh masyarakat. Makanan yang disajikan tergantung pemilik rumah, biasanya tersedia tumpeng, ikan, sayuran, daging.