Masyarakat Adat Kuta Ciamis memiliki adat istiadat mulai dari masa kehamilan hingga kelahiran. Pada masa kehamilan yang ke-4 bulan, dipercaya bahwa bayi di dalam kandungan telah diberi roh oleh Sang Pencipta. Oleh karenanya pada masa tersebut, masyarakat Kuta mengadakan selamatan yang biasa disebut sawaka. Sawaka bertujuan untuk meminta keselamatan bayi yang dikandung dan ibunya. Pada upacara ini, ibu sang bayi akan dimandikan dengan air kembang 4 rupa. Sebelum dimandikan, akan dilakukan pembacaan do’a dan menyajikan sesaji yang biasanya berupa kupat, leupeut, lilin, sapu tangan, nasi, buah-buahan, kopi, sambal, teh, rujak gula, dan sebagainya. Pada saat upacara ini juga ibu hamil dan nini beurang (paraji atau dukun beranak) akan membuat rujak bebeg yang terbuat dari jambu kulutuk, honje, kedondong, delima, ataupun bengkuang dan lainnya. Buah dalam pembuatan rujak ini bisa bermacam-macam tetapi harus terdiri dari 4 macam buah dan salah satunya wajib menggunakan jambu kulutuk. Jika rujak yang dibuat rasanya manis, dipercaya yang akan lahir adalah bayi perempuan sementara jika rujak yang dibuat rasanya asin, maka yang akan lahir adalah bayi laki-laki. Pembacaan do’a sebelum dimandikan biasanya surat yusuf dan surat maryam dengan harapan jika bayinya adalah laki-laki akan seperti nabi yusuf yang tampan dan jika bayinya perempuan akan seperti maryam.
Pada upacara Sawaka juga wajib ada kelapa muda sebagai lambang tokoh wayang arjuna dan srikandi dengan harapan agar bayi yang dikandung akan memiliki wajah tampan seperti arjuna ataupun cantik seperti srikandi. Proses memandikan ibu hamil menggunakan belut 4 rupa dan bunga 4 rupa. Saat memandikan, belut akan diluncurkan dari arah dada hingga ke bawah perut sebagai perlambangan agar ketika melahirkan nanti, bayi dapat meluncur keluar selicin belut. Sementara bunga melambangkan agar bayi kelak dapat menjadi manusia yang mengharumkan nama bangsa, negara, keluarga, dan agama. Selain syukuran 4 bulan, ritual kembali dilakukan pada masa kehamilan yang ke-7 bulan, yakni Mintoni. Setelah kehamilan 7 bulan, keluarga ibu hamil akan mengundang nini beurang untuk membenarkan posisi perut ibu hamil dengan cara melingkarkan gelang yang terbuat dari benang putih sebesar tambang ke perutnya. Mintoni ini tidak mengundang orang seperti pada saat upacara Sawaka.
Masyarakat Kuta Ciamis juga memiliki beberapa pamali yang diyakini tidak boleh dilanggar selama masa kehamilan. Pamali tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
-
Teu meunang ka cai wanci sareupna atau tidak boleh ke air saat pergantian siang ke malam (magrib). Hal ini dikarenakan masyarakat Kuta percaya bahwa pergantian siang ke malam adalah waktu keluar masuknya makhluk halus (sandekala atau mapag kala) sehingga jika ke air saat waktu tersebut kemungkinan dapat diganggu oleh mereka.
-
Teu meunang lila-lila di cai atau tidak boleh berlama-lama di air. Pamali ini juga timbul dari kepercayaan masyarakat setempat bahwa jamban, sungai, dan batu besar adalah tempat kuntilanak sehingga jika perempuan berlama-lama di sana dikhawatirkan akan dirasuki oleh setan.
-
Teu kenging nganggo sinjang jangkung atau tidak boleh menggunakan kain sinjang jangkung. Sinjang jangkung adalah kain samping yang biasa digunakan oleh wanita pedesaan sebagai rok dengan cara dililitkan. Wanita hamil tidak boleh menggunakannya karena dapat memperlihatkan aurat bawah ataupun aurat atasnya. Jika hal itu dilakukan, dipercaya juga dapat dirasuki oleh setan.
-
Teu meunang ngadahar butuh atau tidak boleh memakan kelapa yang sudah berkecambah. Apabila wanita hamil memakan atau meminum kelapa yang sudah berkecambah maka bayi yang dilahirkan akan terserang penyakit panas hingga dapat menyebabkan keguguran.
-
Teu meunang ngadahar cau ambon jeung danas atau tidak boleh memakan pisang ambon dan nanas. Perempuan yang memakan cau ambon dipercaya akan memiliki banyak anak dan dapat menyebabkan keputihan yang abnormal. Sementara memakan nanas dipercaya akan menyebabkan bintik-bintik kudis pada bayi yang dilahirkan hingga dapat menyebabkan keguguran.
Seorang perempuan yang tengah mengandung dilarang keras untuk mengejek orang-orang yang cacat tubuh, atau mempunyai kelainan-kelainan seperti pengkor (sebelah kakinya tidak berfungsi/tidak ada), lolong (tidak bisa melihat), budeg (tidak bisa mendengar/tuli), pece (salah satu matanya buta), depol (orang yang tubuhnya pendek), bibir sumbing dan lain-lain. Adanya pamali ini disebabkan karena adanya kepercayaan bahwa orang yang hamil melakukan itu, maka anak yang akan dilahirkannya kelak akan mengalami salah satu kondisi tersebut diatas. Menjaga agar sang anak kelak memiliki kondisi yang sempurna secara fisik maupun mental adalah sebuah kewajiban bagi seorang ibu yang tengah mengandung.
Terdapat satu lagi pamali terkait penjemputan nini beurang yakni orang yang akan menjemput nini beurang harus membawa obor dikarenakan biasanya akan diikuti oleh makhluk halus yang akan mengganggu wanita hamil atau wanita akan melahirkan. Obor di sini boleh digantikan dalam bentuk apapun asal memiliki api, seperti rokok, obat nyamuk, korek gas, dan lainnya. Dipercaya juga makhluk halus dapat menyerupai dukun beranak untuk mengganggu wanita yang akan melahirkan.
Ritual kemudian dilakukan kembali setelah bayi lahir. Setelah bayi lahir, upacara dilanjutkan dengan upacara Ngarupus yaitu upacara yang dilaksanakan dalam rangka menyambut kehadiran bayi sekaligus acara mencukur rambutnya setelah bayi tepung poe (antara 30 sampai dengan 40 hari setelah bayi lahir) atau saat tali pusar bayi telah putus. Adapun yang melaksanakan ritual ini saat bayi baru menginjak usia 7 hari. Upacara ini dilakukan dengan cara mengundang tetangga dan kerabat dekat. Setelah berkumpul, ustadz atau tokoh agama di kampung tersebut akan membacakan do’a ayat-ayat Al-Qur’an untuk bayi dan ibunya agar diberi keselamatan dunia dan akhirat. Setelah itu dipersilahkan tamu yang hadir dari pihak keluarga atau kerabat sebanyak 7 orang untuk menggunting rambut bayi secara bergantian. Setelah pencukuran rambut bayi, bayi akan diayun di dalam kain (diradinan) dan kening bayi akan dicakar sebanyak 3 kali secara perlahan dengan ceker ayam, kemudian sang ibu akan dimandikan (diadusan) terlebih dahulu oleh Nini Beurang.
Setelah ibunya dimandikan akan dimasukkan ke dalam sarung yang sudah dikenakan oleh ibu bayi, sarung akan ditutup dengan rapat dan ibu dari bayi menjalani prosesi ini tanpa mengenakan baju. Kemudian akan disiapkan baskom berisi air panas, bata bakar, dedaunan seperti daun jeruk, daun kapur, daun sembung, daun kalingsir, kumis kucing, cabe, dan jahe. Baskom yang berisi air panas tersebut nantinya akan dimasukkan dengan dedaunan dan bata bakar. Kemudian sarung akan ditutup rapat bersama sang ibu dari bayi yang ada didalamnya (dipuput), uap yang keluar dari bahan yang sudah dimasukkan ke dalam baskom akan dihirup dan dirasakan sang ibu di dalam sarung tersebut dan sang ibu akan mengeluarkan keringat, prosesi tersebut membuat sang ibu merasakan ringan (harampang) pada tubuhnya. Setelah sang ibu dipuput biasanya akan dilanjutkan dengan dipijat oleh Nini Beurang. Terakhir, para undangan dipersilakan menyantap hidangan yang telah tersedia. Berakhirnya upacara ngarupus ini sekaligus menjadi pertanda bahwa tugas Nini Beurang telah selesai, pemeliharaan dan perawatan bayi selanjutnya menjadi tanggung jawab penuh orang tua si bayi.