Pasa' Glea merupakan ritual penyelesaian sengketa pada masyarakat adat di Desa Waibao. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui Pasa’ Glea berhubungan dengan sengketa personal dan atau kelompok seperti sengketa kepemilikan lahan, pencurian, kasus asusila dan lain kasus-kasus lain yang pelakunya tidak mengakui perbuatannya.
Pasa’ Glea dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui siapa yang salah dan yang benar dalam sebuah persoalan. Proses Pasa’ Glea dimulai dengan masing-masing pihak menyiapkan satu ekor ayam jantan. Ayam jantan dipercaya dapat menjadi sarana untuk mengetahui siapa pihak yang bersalah dan yang tidak bersalah.
Ritus Pasa Glea dipimpin oleh tuan tanah dalam suku Koten, Kelen, Hurit dan Maran. Proses untuk mengetahui pihak mana yang salah dan yang benar dalam penyelesaian sengketa tersebut dimulai dengan pelafalan Boka Mara (mantra adat) molan (dukun adat) yang ditugaskan oleh tuan tanah.
Sang molan, melalui Boka Mara menghadirkan Lera Wulan ( Tuhan ) Tana Ekan ( Ibu Bumi ) dan Leluhur dalam proses ritual. Dimana kehadiran tuhan dan leluhur dipercaya akan memberi petunjuk pada pencarian kebenaran.
Setelah Boka, dua ekor ayam dari masing-masing pihak yang bertikai diikat lehernya dan digantung di depan pintu rumah adat atau di pintu kantor desa atau di rumah warga atau di tempat yang disepekati sebagai lokasi pelaksanaan ritual.
Dua ekor ayam digantung hidup-hidup hingga mati menggunakan tali. Setelah kedua ekor ayam mati, selanjutnya dua ekor ayam akan dilepaskan dari tali gantungan dan dibelah isi perutnya untuk melihat 'peru' atau empedu dari dua ekor ayam di hadapan semua pihak yang menghadiri Pasa’ Glea.
Jika kedua ayam yang telah digantung dan dimantrakan hingga mati tersebut tidak memiliki empedu maka tuduhan yang disampaikan pada pihak yang tertuduh itu tidak benar. Namun jika kedua ayam mati tersebut masih memiliki empedu maka dipercaya pihak yang dituduh melakukan kesalahan terbukti tidak bersalah.
Pasa’ Glea dihadiri dan disaksikan oleh pemerintah desa, pihak kemananan dan masyarakat umum. Pasa’’ Glea diakhiri dengan rekonsiliasi kedua pihak yang bertikai dan ditutup dengan acara makan bersama.
Hingga kini Pasa’ Glea masih dipraktikkan oleh masyarakat adat di desa Waiboa Kecamatan Tanjung Bunga Kabupaten Flores Timur. Kasus terakhir yang di-Pasa’ Glea-kan adalah kasus batas tanah oleh Suku Aran dengan Suku Belen dan Suku Nitit dan Suku Belen pada tanggal 3 Juni tahun 2024 bertempat di Kantor Desa Waibao.
Penyelesaian sengketa melalui Ritus Pasa’ Glea yang dilakukan pada tahun 2024 berlangsung kondusif dan telah menciptakan keteraturan sosial. Semua pihak menerima hasil Pasa’ Glea dengan kebesaran hati. Kearifan lokal ini telah terbukti dapat menciptakan keharmonisan di tengah masyarakat Waibao hingga saat ini.