SEBA URA DAGA WAI

Basisdata Tradisi Lisan
SLKL
Nama Tradisi Lisan
SEBA URA DAGA WAI
Kategori
Sejarah lisan
Etnis Penutur
Lamaholot
Medium Penyajian
Menceritakan
Komponen Tokoh atau Pelaku
MARKAMA
Deskripsi

Seba Ura Daga Wai(Petualang Mencari Hujan)

Seba Ura Daga Wai merupakan sejarah Lisan yang ada  di Solor selatan Desa Lewolo yang sekarang lebih di kenal dengan Desa Kalike Aimatan.

terjadinya seba ura daga wai, bermula pada Bencana kelaparan karena tidak ada tetes Hujan   yang membasahi tanah solor sementara makanan yang di makan warga setempat berupa batu putih yang di titi sedemikian rupah menjadi halus sedangkan air yang mereka minum berupah tetesan embun yang melekat di dedaunan yang dalam penuturan orang Lewolo"Meka mabe boki eko laba para,Menu mabe sesa apu bara baki"

padamulanya untuk membentuk keyakinan dan keberanian Markama lalu membuat suatu seremonial adat yang dalam syair penuturan orang Lewolo"Kepasa Pulo glea Lewa mau ga moge hoge" dengan memana pelepa pohon tuak dan dalam syair penuturan orang Lewolo "Le'o gere kelepa wa pulu pito hetu,bayu lodo kerga tilun pululema hiba'', langkah awal membentuk keyakinanNya berhasil.

Selanjutnya Markama membuat sebuah perhau yang dalam penuturan orang Lewolo "Tula Tena kerepi beyaya, Lega Ua kepapa kulu kene" di sebuah lereng bukit yang bernama wai duan. setelah selesai membuat perhu Markama melihat perhau yang akan membawanya berlayar teramat besar dan tidak memungkinkan sendiri berlayar tanpa teman. kemudian Pergilah Markama di sebuah tempat yang dihuni oleh Roh Halus atau Nitu Lora. Markama meminta seorang pesuru untuk menikutinya, orang itu bernama Muken Sowe Maran galulea koli utan wato daten" sementara itu markama juga meminta bekal perjalanan pada Pati Arakian bege peni ama, berupa 7 buah ketupat dan 5 buli air "Tupa Ua Pito, Wai Keso Lema" permintaan Markama diepnuhi oleh Nitu Lora dan Pati Arakian bege peni ama.

Setelah itu berangkatlah mereka, dan dengan Kesakitan yang dimiliki oleh Markama maka ia menepuk perhau sehingga perhau itu meluncur melewati kali dari gunung menuju pantai Kalike Aimatan Peda Pusu Bura, mereka berlayar ke arah Timur Pulau Solor dan setibanya di kampung Lamakera Haluan Perahu di arahkan ke arah Laut Sawu menuju Pulau Timor. Kesakitan Markama mempengaruhi Warga di tempat itu untuk berkumpul bersama di bibir Pantai. Sehingga tempat itu di beri Nama ATA PUPU(Orang berkumpul). penantian mereka menyakiskan perahu markama yang sedang berlayar penuh dengan aura kesakitan menuju tanah kelahiran mereka di beri nama Atapua(Orang berlayar) yang dalam perkembangan Kata Atapua menjadi Atambua yang dikenal menjadi ibukota kabupaten Belu.

Setelah perahu mereka mendarat di pantai pulau Timor, mereka disambut hangat penuh rasa kekelurgaan oleh seluruh warga. Markama berjalan menuju kampung warga dan di tempat itu markama bertemu dengan seorang bapak setengah baya yang sedang mengasa pisau sambil menangis. Markama prihatin dan menghamipiri orang itu dan bertanya "Edo Laba Reu bae laba lidan puken aku mo asa tani asa tani Nimun aku ne mo gadi doan gadi dore"(mengapa engkau menangis saudara" dan jawab orang itu "Bapak,istri saya tidak bisa melahirkan secara normal sehingga saya harus mengasah pisau untuk membelah perut istri saya untuk mengambil anak, istri saya melahirkan untuk pertama kalinya Namun adat dan kebiasaan kami disini saya harus membela perutnya untuk mengambil anak yang ada di dalam rahimnya, Akibarnya istri saya akan mati meninggalkan saya dan anak" kemudian Markama berkata lagi "Edo Laba Reu bae laba lidan jadi tabe api nai jadi kayak aya hala dewa tabe sege se'e dewa mobo bele kuran,napu mo kote teti to lodo wuli lali nado gere pe go gere tobo kenata bala lolon jadi kabe noni nuan dewa kabe nua gahi"(Saudara,warga disni tak bisa bertambah banyak kalau cara melahirkan dengan membla perut istri jika demikian setiap kali kalau ada ibu yang melahirkan pasti ada kedukaan besar dikampung ini, Jika saudara berkenan saya mau membantu persalinan istri saudara anak dan ibu selamat dari bahaya maut). dengan senang hati orang tersebut setuju dengan permintaan Markama. Markama melepsakan sabuk sakti dari pinggangnya lalu diebrikan kepada ibu untuk memegang sekeitka itu terjadi mujizat ibu yang resa dan takut akan bahaya maut dapat melahirkan dengan lancar,Aman dan selamat. Karena terlalu gembira orang itu teriak memanggil warga setempat untuk datang dan menyaksikan kejadian yang luar biasa terhadap istri dan anaknya. Karena jasa Markama orang itu Berkata kepada markama bapa,kamu mau minta apa saya akan penuhi,Mau meminta gading atau apa untuk dibawah pulang menjadi hadiah. dengan kewibawaan penuh kesaktian Markama pun menjawab"Edo laba reu bae laba lidan kotek teti to lodo wulik lali nadon gere senake lodo bata mahan wae guno bapu loro" karena jasa markama yang telah membantu istrinya melahirkan dengan selamat yang kelak juga membantu para ibu di kampung mereka maka orang tersebut mengabulkan permintaan markama yang dimengertinya dari gerak tubuh dan bahsa fisik sang sakti dari solor. Lalu dengan gembira markama membawa dewa petir tersebut yang dalam penuturan orang Lewolo "Lake lodo pata maha" yang sekarang di kenal dengan nama tua koli gigo gago raya gago wata lolo. bersama dewa hujan yang dalam penuturan orang Lewolo "wae bango baku loro" yang sekarang dikenal nama Bota bae bala kina, bota bae bala gama.

Dalam perjalanan pulang dari pulau Timor ke pulau Solor hujan senantiasa menyertai markama dan maran galilea. mereka berlayar kembali dan mengarahkan perhau menuju kampung lamakera seperti rute awal perjalanan mereka. setelah tiba di pulau Solor kampung lamakera mereka berlayar menuju kampung Kalike Aimatan peda pusu bura kemudian markama dan maran galilea meletakan petir dan dewa hujan di pesisir pantai kalike aimatan peda pusu bura yang sekarang dikenal dengan nama tua kolo gigo gago raya gago wata lolo dan dijadikan tempat keramat atau duan, sampai hari ini untuk pertama kalinya hujan tiba di lewolo khususnya dan pulau solor pada umumnya yang di bawah oleh Tokoh Lamakoli Markama koli wolo wutun layo wera lolo. Keajaiban terjadi lagi perahu markama yang tengah berlabu di pantai kalike aimatan peda pusu bura tiba-tiba berubah menjadi batu yang sekarang dikenal dengan nama Wato Tena. Orang karawatung dan orang lewolo sebagai kampung kakak adik  setiap tahun menjelang musim tanam saat hujan pertama kali turun tuan tanah melaksanakan ritual adat "pi'i asa pada ura" mengenang hari bersejarah markama dan maran galilea membawah petir dan dewa hujan dari pulau timor yang dirayakan dalam pesta berauk(Pesta syukur panen) di kedua kampung adat tersebut setiap bulan juni-juli.

Narasumber : Bapak Lukas Kolin(Tuan Tana)

 

Kecamatan
Solor Selatan
Kabupaten
Flores Timur
Propinsi
Nusa Tenggara Timur