Nama Adat Istiadat
Sunna Hada / Sunat Adat
Deskripsi
URUTAN DALAM TRADISI LISAN SUNNA HADA
Pelaksanaan ritual sunna hada memiliki beberapa rangkaian acara yang saling
berkaitan. Rangkaian pelaksanaan ritual sunna hada termasuk ritual adat yang
panjang, melibatkan banyak orang, dan suku sehingga memerlukan pula biaya yang
banyak yakni ratusan juta rupiah. Adapun urutan ritual sunna hada ini terdiri
atas beberapa ritual pendukung yakni.
Pertama, ritual bajoapa ‘tumbuk padi’. Ritual ini biasanya dilakukan sebulan
sebelum ritual puncak sunna hada dilakukan. Ritual bajoapa ini merupakan ritual
menumbuk padi secara bersama oleh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan.
Ritual bajoapa ini melambangkan semangat kebersamaan dan komunalitas masyarakat
di Alor Kecil yang memperlihatkan ciri kelisanan dalam masyarakat tersebut
masih kuat (Walter J. Ong (1982: 40). Ritual bajoapa dimaksudkan sebagai
persiapan mengumpulkan bahan pokok untuk keperluan upacara yang akan
dilaksanakan pada bulan berikutnya.
Kedua, ritual serahkire yakni penyerahan urusan sunna hada dari
orang tua anakmori ‘anak-anak yang akan disunat’ kepada panitia resmi yang
dibentuk dan ditentukan oleh tetua adat.
Ketiga ritual sorongdori ‘penyerahan pisau sunat’ dari ketua adat klan Panara
sebagai klan yang bertanggungjawab menyimpan benda pusaka (perlengkapan perang)
kepada jurumoding ‘juru sunat’. Tugas sebagai penyimpan benda pusaka ini
berkaitan dengan fungsi klan ini sebagai panglima perang dalam struktur
pemerintahan adat. Peran dan fungsi klan ini sesuai dengan nama fam yang mereka
sandang yakni Pana [jalan] dan Ra [darah] dalam bahasa Alurung. Setiap kali
tetua adat dan juru moding akan memasuki arena ritual adat biasanya didahului
oleh sekelompok Jontera. Jontera adalah pasukan penyisir ranjau terutama
‘ranjau’ gaib yang dikhawatirkan dapat menghambat kelancaran ritual sunna hada.
Kelompok Jontera ini akan bergerak berkeliling arena (halaman uma hada)
sebanyak tiga kali sambil menarikan gerakan perang. Setelah yakni bahwa lokasi
ritual sudah aman maka mereka segera melaporkan kepada ketua klan Panara dan
bersiap mengiringi para tetua adat beserta juru moding untuk memasuki arena
ritual. Tugas para jontera ini dapat dianalogkan sebagai paspampres di zaman
modern. Demikian juga pada saat jubahdodo ‘baju kebesaran’ diturunkan dari uma
Pelang Serang ‘rumah raja’ para jontera juga akan memastikan lokasi
ritual aman dari gangguan dan akan menyisir arena sambil menari mengikuti musik
gong dan gendang sebanyak tiga kali.
Keempat ritual penyerahan anakmori ‘anak-anak yang akan disunat’ kepada
paman-bibi. Beberapa hari sebelum anakmori akan disunat maka paman dan bibi
dari fihak ibu merupakan kerabat yang diberi tanggung jawab mengurus dan
merawat anakmori selama mengikuti ritual sunna hada. Termasuk mengurus dan
menjaga mereka sebelum dan setelah penyunatan. Setelah anakmori didandani
dan diberi bekal berupa kambing, manuk, sirih pinang, dan bekal makanan lainnya
dan mereka akan diantar secara beramai-ramai oleh paman-bibi masing-masing ke
Uma Pelang Serang ‘rumah raja’ sebagai salah satu uma ‘rumah’ adat yang dipakai
selama pelaksanaan sunna hada. Setelah dari Uma Pelang Serang mereka
dipindahkan ke Kokoro Labahanji ‘balairung pertemuan adat’ dan anakmori akan
diinapkan di Kokoro Labahanji selama berlangsungnya ritual sunna hada.
Pengawasann dan perawatan anakmori selama itu juga berada di bawah pengawasan
dan perawatan paman-bibi.
Kelima, ritual Talling Feking/Kakari Opung Anang Serufakking adalah ritual
saling mengunjungi dan menghantar bekal upacara antara keturunan dari Uma
Menapa Lolong, Uma Atahodi, dan Uma Sina. Orang-orang dari ketiga uma ini
memiliki hubungan kekerabatan dalam suku Baorae dan juga memiliki hubungan
secara adat dengan orang yang menghuni Uma Rombi dan Uma Pelang Serang.
Keenam, ritual Kualaka, pada saat ini keluarga dari suku Baorae menerima
kedatangan suku-suku lain yang masih memiliki sejarah dan hubungan kekerabatan
dengan suku Baorae. Suku-suku lain yang ikut membantu itu seperti, suku
Manglolong, Geilae, Mudiloang, Lekaduli, dan suku Loffobeng. Waktu pelaksanaan
ritual tallingfekking ini dilakukan pada tanggal 10 Juli 2016 petang. Pada
tanggal 11 Juli 2016 dilanjutkan dengan suku Baorae menanti kedatangan keluarga
besar dari Otvai, Pura, Kalong, Pandai, Balagar, Mauta, Dukalolong, Alor
Besar, dan Petumbang. Kerabat dan anggota suku yang tersebut terakhir merupakan
kerabat dan suku yang menetap di luar Alor Kecil yakni dari pulau Pantar, Pulau
Pura, dan wilayah Gunung Besar seperti Petumbang.
Para kerabat dan anggota suku yang datang dari luar kampung Alor Kecil
itu dinanti di Uma Pelang Serang dan kedatangan mereka biasanya juga dengan
membawa bekal makanan dan sirih pinang berkarung-karung untuk keperluan ritual
sunna hada tersebut. Misalnya suku Klon dari kampung Petumbang Ailelang [bambu
besar], hubungan kekerabatan mereka dengan suku Baorae berasal dari hubungan
perkawinan antara perempuan (nenek moyang) orang Alor Kecil dengan
laki-laki (kakek moyang) orang Petumbang. Pada saat ini, keturunan orang Alor
Kecil yang sudah menetap di Petumbang ini umumnya beragama Katolik. Namun,
perbedaan agama dan juga bahasa itu tidak menghalangi semangat kebersamaan dan
persaudaraan di antara kedua suku ini. Bahkan mereka saling bantu-membantu
dalam pelaksanaan ritual sunna hada. Sekalipun berbeda agama dan keyakinan
mereka masih mengindentifikasi diri mereka sebagai saudara dengan orang Alor
Kecil yang mayoritas Muslim. Hubungan kekerabatan antara antara orang Petumbang
dengan orang Alor Kecil itu selalu dinyanyikan dalam syair lego-lego dan
pepatah mereka adat suku Baorae yang berbunyi: [ruakakangaring] ‘dua kakak
adik’ atau [rua opung amang] ‘dua bapa anak’.
Urutan ketujuh dalam ritual sunna hada adalah khataman Al-Quran. Pada malam
tanggal 12 Juli anak-anak yang sudah dianggap tamat belajar mengaji Al-Quran
juga dilaksanakan upcara khatam Al-Quran yang bertempat di Kokoro
Labahanji ‘balairung pertemuan adat’ yang berada di depan rumah adat seperti
Uma Menapa Lolong, Uma Pelang Serang, dan Uma Atahodi.
Kedelapan adalah penyambutan jurumoding perempuan ‘juru sunat’ di Uma Pelang
Serang dan sekaligus penyunatan anakmori perempuan yang dilaksanakan pada
tanggal 12 Juli malam.
Kesembilan, penyunatan anakmori kalake (laki-laki) yang dilaksanakan pada pada
tanggal 13 Juli pagi. Juru moding yang melaksanakan tugas ini adalah juru
moding laki-laki. Pada malam hari setelah anakmori kalake disunat maka diadakan
tarian lego-lego di halaman rumah adat. Tarian lego-lego ini menggambarkan
kebersamaan antara masyarakat di Alor Kecil. Semangat kebersamaan ini terlihat
dari komposisi dan gerakan tarian yakni para penari menari sambil bergandengan
tangan. Bahkan di beberapa suku yang lain saling memeluk dari belakang. Formasi
tarian membentuk lingkaran yang besar dan berlapis. Jumlah masyarakat yang
dibolehkan ikut menari dalam tarian ini tidak dibatasi hingga dapat mencapai
ratusan orang. Biasanya mereka menari mengeliling mesbah ‘batu altar
persatuan’ yang selalu dimiliki oleh setiap suku di Alor. Mesbah tersebut
terbuat dari batu-batu yang disusun melingkar dan di tengahnya biasanya
ditanami sebatang pohon atau sebuah batu yang berbentuk phallus. Batu yang
berbentuk phallus itu melambangkan sistem patrilineal yang dianut oleh
kebanyakan suku di Alor.
Etnis yang melaksanakan
Alurung
Propinsi
Nusa Tenggara Timur