![](https://sidakerta.kemdikbud.go.id/sdk/assets/attachment/icon/icon3indonesia.jpg)
SEJARAH SUKU HAYON
Alkisah, dahulu kalah ada seorang yang
bernama Selayu Kobi yang berdiam di Pulau Lepan Batan (Lembata). Ia mempunyai
seekor binatang peliharaan seperti ular yang disebut dengan Ule Mage. Hari demi hari Ule Mage tersebut semakin besar dan menakutkan
hingga meresahkan warga sekitarnya. Pada suatu waktu atas saran dari warga setempat
Ule Mage tersebut dibawa dan dilepaskan di hutan. Saran dari warga ini pun kemudian
dilaksanakan oleh Selayu Kobi untuk melepaskannya di hutan.
Pada suatu hari, ada sekelompok pemburu,
pergi ke hutan untuk berburu dan sesampainya di hutan, diantara mereka ada
seorang yang tersesat dan terpisah dari sekelompok pemburu itu di tengah hutan.
Orang tesebut kemudian ditemukan oleh Ule
Mage dan memangsanya. Kawanan
pemburu itu kemudian mencarinya dan tak lama kemudian menemukan ule mage sedang menelan kawan mereka itu
dan hanya masih tersisa tersisa di mulut ular tersebut. Melihat kejadian
tersebut mereka kemudian berusaha untuk menyelamatkan tubuh kawan mereka ini
dengan cara membunuh ular itu, namun usaha mereka hanyalah sia-sia. Mereka
kemudian bersepakat untuk kembali dan mengadukan hal ini kepada Selayu Kobi
yang adalah orang yang pernah memelihara ular tersebut. Hal ini diterima oleh
Selayu Kobi hingga akhirnya mereka bersama-sama pergi kehutan dan berusaha membunuh
ular tersebut, namun usaha mereka ini
juga hanyalah sia-sia pula.
Akhirnya Selayu Kobi dengan caranya
sendiri berusaha membujuk ular tersebut untuk disebelih agar bisa ambil tubuh
orang yang ditelannya dari dalam lambungnya. Atas bujukan Selayu Kobi, ular tersebut
kemudian menuruti permintaan Selayu Kobi untuk dibelah perutnya akan tetapi dengan
syarat; harus dilakukan oleh Selayu Kobi seorang diri dengan menggunakan pisau kecil
miliknya. Selayu Kobi kemudian bersepakat dan mulai membelah perut ular itu dan
mengeluarkan tubuh orang yang ditelannya.
Disini tidak diceritakan bahwa orang
tersebut masih hidup ataupun mati. Proses sembeli telah dilakukan dan salah
satu dari organ tubuh ular ini, yakni gigi ular diambil oleh Selayu Kobi untuk dibawa
pulang dan disimpan sesuai pesan yang disampaikan oleh ular itu sebelumnya. Gigi
ular tersebut disimpannya dengan baik dan diyakini sebagai benda pusaka untuk mengenang
ular yang pernah Ia pelihara, kemudian dibuangnya ke hutan dan pada akhirnya disembeli
oleh tangannya sendiri.
Suatu ketika Selayu Kobi berniat untuk berdagang,
karena itu Ia harus meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Pulau Jawa
dengan membawa serta dengan benda pusakanya (gigi ular). Sesampainya di tanah
Jawa kehidupannya dan pergaulannya disenangi sekaligus disegani oleh warga sekitarnya,
dan memiliki kharisma tersendiri sehingga Ia sangat terpandang hingga akhirnya diberikan
gelar/sebutan “Tuanla Selayu, Raya Semanga Yawa(ng)” artinya : Tuan Selayu,
Raja Jawa.
Singkat cerita tibalah waktunya Selayu Kobi
berniat untuk kembali ke kampung halamannya,
Ia pun membeli barang-barang untuk diperdagangkan di kampung halamannya.
Barang dagangannya sebanyak 3 (tiga) Kapal. (bahasa
Lamahot, kapal disebut dengan Jong). Akan tetapi, nasib malang menimpa atas
dirinya karena Ia harus ditipu oleh pemilik kapal, pada saat tiba waktunya
untuk berlayar Ia tidak diikut sertakan dalam pelayaran bersama dengan barang
dagangannya beserta benda pusaka miliknya, namun Ia terpaksa tertinggal kapal di
darat. Mengenang nasib yang malang, Selayu Kobi hanya duduk dan menangis
seorang diri di tepi pantai meratapi barang dangagannya beserta benda pusaka (sepasang
gigi ular) miliknya yang dibawa oleh kapal itu.
Sesaat kemudian datanglah seekor Ikan Paus
(bahasa Lamahot; Kelaru) menghampirinya
dan bertanya : “Kenapa engkau menangis?, Jawabnya : “Barang dagangan beserta
benda pusaka milikku dibawa pergi ketiga kapal itu yang kini sudah ditengah lautan”.
Mendengar hal itu dan melihat kondisi Selayu
Kobi yang sedang letih dan kelaparan, Ikan Paus itupun kemudian memuntahkan
ketupat (bahasa Lamahot, Tupa) untuk
dimakan dan memuntahkan pula sebilah parang (bahasa
Lamahot, Peda’). Parang tersebut diperintahkan untuk memotong batang Kelor/Merungge
(dalam bahasa Lamahot: Motong), dan kayu
Tenunu (pohon berduri yang biasanya tumbuh di pinggiran pantai, dan
juga memotong seutas tali (bahasa
Lamaholot : Tale Mide).
Setelah
seleai makan dan memotong kayu serta tali, selanjutnya Ikan Paus memerintahkan
Selayu Kobi agar naik ke punggungnya dan menancapkan kayu Motong dan Tenunu pada punggungnya
dan Tale Mide digunakan untuk mengikat
tubuhnya agar tidak terlepas dari badan Ikan Paus saat berenang mengejar ketiga
kapal (Jong) tersebut.
Singkat cerita tibalah mereka pada kapal
pertama dan kedua dan mencari barang pusaka miliknya, namun tidak ditemukan.
Benda pusaka tersebut berada di kapal ketiga, Ia kemudian mengambil barang pusaka
itu dan menenggelamkan kapal dan pergi bersama Ikan Paus. Pada akhirnya Ikan
Paus dan Selayu Kobi tiba di suatu tempat, yang kini disebut dengan Menanga (di
Pulau Solor- Kecamatan Solor Timur), Ikan Paus menyuruhnya turun dari
punggungnya dan berpesannya : “saya akan pergi ke tengah laut dan para nelayan
disini akan memburu dan membunuhku, namun pada saat tubuhku disembeli dan dagingku dibagi-bagikan kepada seluruh warga,
janganlah engkau terima dan memakan dagingku, tetapi kumpulkanlah seluruh
tulang-tulangku dan tumpukan di rumahmu hingga tiba waktunya air bah (istilah; Ma’e ha’e, Kemora gora) melanda
kampung ini, engkau akan naik dan duduk di atas tulang-belulangku yang engkau
tumpuhkan, maka engkau akan selamat.
Setelah berpesan demikian, Ikan Paus
itupun pergi dan tak lama kemudian para nelayan menangkap ikan paus itu dan
disembeli dipinggir pantai dan dagingnya dibagikan ke seluruh penduduk di
wilayah setempat. Selayu kobi hanya duduk dan melihat hal itu sambil merenung
segala pesan yang disampaikan oleh ikan paus dan melaksanakannya. Seluruh warga
yang melihatnya dan sambil menghina, katanya :“Engkau bukan manusia”, sebab
kami memakan dagingnya tetapai engkau hanya mengumpulkan tulang-tulangnya.
Mereka juga bertanya kepadanya: “untuk apa tulang-tulang itu kau kumpulkan?”,
Akan tetapi Selayu Kobi hanya tunduk dan diam tidak menjawab sepatah kata pun.
Tibalah saatnya awan mulai mendung dan
gelap menyelimuti seluruh kampung itu dan hujan lebat mulai turun hingga
terjadi banjir/air bah, Selayu Kobi teringat akan pesan yang disampaikan
kemudian naik duduk di atas tumpukan tulang-belulang yang telah Ia tumpukan.
Seluruh kampung terhayut dibawa oleh air bah dan hanya tersisa Selayu Kobi
seorang diri karena Ia telah patuh pada perintah dan pesan yang telah
disampaikan oleh Ikan Paus itu.
Hari terus berlalu, Selayu Kobi pun akhirnya
berkeluarga dan memulai membangun rumah tangganya dan dikaruniani 7 (tujuh)
orang anak laki-laki. Mereka memulai kehidupan mereka dengan merambah hutan dan
berkebun serta tinggal dengan berpindah-pindah ke beberapa tempat, selain Menanga
berpindah ke sebelah barat yang dinamai LewoHayong yang kemudian dikenal dengan
nama Kota, oleh karena ada Benteng Portugis
di sana (sekarang Desa Lohayong). Keturunan dari ketujuh anak laki-laki Selayu
Kobi tersebut, saat ini menyebar di beberapa tempat; yakni di Botung (Kecamatan
Wotan Ulumado), Menanga, Lamawai, Kukuwerang, Lamakera, Kawuta (SolorTimur);
Lamalewo, Lamariang, RiangLaka, Daniwato dan Augelarang (Solor Barat).
Keturunan dari Selayu Kobi ini dikenal
dengan sebutan/istilah Kenopak Suku; Sayon Laba Likuwatan, Bera Kia
Gaweole.
Dokumentasi
Wawancara:
![]() |